Terkadang,rasa ikhlasku berhasil mengalahkan rasa di hatiku. Tetapi, rasa ikhlasku telah berkali kali dihancurkan rasa sayang di hatiku. Namun,ia tak pernah letih walau dihancurkan,selalu membangun kembali kepingan samarnya. Sama seperti rasa yang timbul dalam hati ini,ia tak pernah lelah dihancurkan oleh dirimu,atas jiwa yang tak berkenan akan datangnya rasa ini.
Memang,rasa sakit tak jarang menimpa,namun mengapa hati ini terlalu meringkus atas perasaan itu. Sakit tak dirasa,aku pun tak begitu paham mengapa diri ini terlalu sudi untuk menunggu insan yang bukan menjadi hak dan menghuni hatinya.
Jumat, 11 Maret 2016
Kamis, 10 Maret 2016
Terkaan Purba
Terkubur antara ceruk-ceruk Bengawan Solo.
Teralir pada tepas kota Ngawi.
Ku temui jejak awal hidup.
Tempat berhimpunnya rangka membatu.
Terbingkai dalam meja display musium Trinil
Berjajar penuh misteri.
Terlampau beberapa lama,
Seluk beluk ini disembunyikan.
Diam bersama beribu sejarah.
Terkapar harmonis diatas bongkahan.
Bersemayam kaku,
Menolak ragu.
Melukiskn geram masa lampau.
Globalisasi berseru,
Nafsu peralihan mengubah zaman.
Membius keadaan,menjadi keantabrantaan.
Telapak ini bergelayut karam,
Menyentuh batas benda kusam.
Berahu katup mata membelalak,
Terpetakan penjuru lampau.
Mencekik kerling bulu kuduk.
Daya pikir mengembara,
Lubuk imajinsi tak dapat dikembala.
Berkujur ricuh segala asumsi.
Dapat kuperkirakan ketertatihan yang merana.
Menjelajah padang hening,
Berdesah akan jalannya waktu.
Jika diizinkan,
Mesin waktu yang kupakai.
Kata revolusi dapat diungkap,
Arungan tegas khalayak purba.
Segegas apa terjalin lama.
Semu tak terprediksi.
Layak tanda tanya tak berterus terang.
Teralir pada tepas kota Ngawi.
Ku temui jejak awal hidup.
Tempat berhimpunnya rangka membatu.
Terbingkai dalam meja display musium Trinil
Berjajar penuh misteri.
Terlampau beberapa lama,
Seluk beluk ini disembunyikan.
Diam bersama beribu sejarah.
Terkapar harmonis diatas bongkahan.
Bersemayam kaku,
Menolak ragu.
Melukiskn geram masa lampau.
Globalisasi berseru,
Nafsu peralihan mengubah zaman.
Membius keadaan,menjadi keantabrantaan.
Telapak ini bergelayut karam,
Menyentuh batas benda kusam.
Berahu katup mata membelalak,
Terpetakan penjuru lampau.
Mencekik kerling bulu kuduk.
Daya pikir mengembara,
Lubuk imajinsi tak dapat dikembala.
Berkujur ricuh segala asumsi.
Dapat kuperkirakan ketertatihan yang merana.
Menjelajah padang hening,
Berdesah akan jalannya waktu.
Jika diizinkan,
Mesin waktu yang kupakai.
Kata revolusi dapat diungkap,
Arungan tegas khalayak purba.
Segegas apa terjalin lama.
Semu tak terprediksi.
Layak tanda tanya tak berterus terang.
Rabu, 09 Maret 2016
Timbunan asa
Ketika ulu hati tersiksa,terbata-bata dan tak sanggup kembali membangun lempengan hati. Dikala khalayak rasanya tak ada yang peduli. Kau datang,dengan langkah tegapmu,kau datang membawa tamengmu. Kupikir,kau benar-benar ksatria yang dikirim Tuhan. Apadaya,ku terus terpedaya pada rayu manismu. Hingga pada suatu masa,kau berlari sekejap angin. Kukejar,namun jejakmu tak terkejar. Lisanku sirna,kau benar-benar pergi. Menjerat jua tersedu meraga. Kau lenyap meninggalkan sakit,kau pergi meninggalkan luka.
Harap
Disetiap musim yang semakin berlalu,dibalik belukar seakan pemalu. Aku berdiam,ditikam wacana. Manakala harap hanya sejengkal,sedangkan rasa kian mencuat. Melucuti kisah kian berkabung. Bertutur pada satu pandang,pandangmu. Aku tak sanggup.
Langganan:
Postingan (Atom)