Kamis, 20 Oktober 2016

Puisi Adiwiyata


Kicauan Alam

Semilir angin mengusik kerinduan
Suasana mengayunku diatas pertiwi
Menapaki setiap jengkal bentala
Lambaian patera menoreh rasa nyaman
Hawa menyambut kami,
Mengawai ketentraman
Menelan segala kesibukan
Kini, mari bercerita
Mendengarkan ranting bersuka cita saat bunga mekar
Bersama air yang bermain dipucuknya
Meskipun daun pernah ranggas tanpa sisa

Rabu, 19 Oktober 2016

Puisi Kerusakan Lingkungan

Kali ini,saya akan mempublikasikan puisi perihal kerusakan lingkungan,agar masing-masing dari kita memiliki kesadaran. Bahwa manusia,akan selamanya bergantung pada alam.Apa yang terjadi jika alam,sebagai wahana untuk bergantung menjadi rusak?.

Hati yang Luka

Tengoklah di ufuk timur
Terbit isak tangis kawan-kawan kami
Mereka hanya mengeja satu persatu asma
Hati mereka cabar; air matanya goyah
Mereka adalah korban,lalu bagaimana?
Alam mengadu pada Sang Pencipta
Memaki hela napas kami
Ibu pertiwi murka,paru-parunya disakiti
Semua sungguh tragis,
melihat segalanya terkikis
Saat hutan telah ranggas,
serta bumi tak lagi hijau
Tanpa ada penopang tirta
Apa mereka kurang puas?
Harta mungkin melimpah
Namun tak pernah mengerti,ada tangis yang lebih melimpah
Betapa hati semakin gundah
Semenjak gemercik menuntun api
Apa kami harus kembali menepi?
Setelah api mengundang bara
Akankah hidup kami semakin sara?
Rasaku berhambur menghadap liar dengan tabun.
Sementara bocah itu berteriak nyaring "Dimana pohon-pohonku?"
Kesan abadinya menyeret seluruh batin
Layaknya bisu kami diam
Jangan tanya lagi perihal duka
Mereka percayai kabut serta muram langit untuk bercerita.

Senin, 04 April 2016

Dinamika cinta pertama

Riwayat,seorang gadis yang menunggu datangnya cinta pertama,bertekuk penasaran atas seberapa ringan derita yang terjadi dan seberapa berat tinjauan rasa tentram. Ditengah hidup,ia bertemu pada jiwa yang dirasa tepat untuk dititipkannya hati serta cinta. Perjalanan terus berlalu,bertahun-tahun mengenai kisah yang terus berlanjut. Baginya,kisah cinta pertama sangat indah dan tak dapat dihapus oleh kata lupa. Suatu waktu,mereka menjumpai masalah hebat,tak bisa ditemukan jalan keluar,tak dapat diasingkan dari pertengkaran. Lelaki itu meninggalkannya,sebabnya adalah salah paham. Setelah ditelisik lama,lelaki itu memiliki wanita pujaan lain. Setelah dipelajari,cinta memang tak selalu bermotif bahagia. Sakit yang ditimpa,tak pernah diperkirakannya. Ia mencoba bertahan,menangisi kejadian tragis pada cinta pertamanya. Tak dapat disalahkan untuk apa ia menangis. Rasa menjadi dasar,semangat dan rindu menjadi tumpuan. Suatu waktu,tibalah pria yang berbaik hati,hampir merebut hatinya. Mungkin ia keras kepala,selalu menuruti kata hati yang tak pernah mengenal lampu merah. Logikanya menentang,"sudah dengan ia saja,ia mungkin yang baik,dan lebih baik dibanding lelaki yang pernah kau kenal". Meski begitu,kata hati memaksanya bertahan,"Hey,jadi untuk apa penantianmu selama ini?". Mungkin kali ini,pilihannya bertuju pada apa yang dikatakan hati. Nada lara ironi telah dilalui,dilewati. Tetap,baginya cerita cinta pertama belum usai. Penantian panjang,cukup panjang hanya sekedar membuang air mata berhari hari. Meski kata ikhlas telah terpancar darinya,namun hatinya belum dapat mengikhlaskan. Doanya,ia habiskan untuk lelaki itu. Menahan rasa sesakit ini,melihatnya bersama wanita lain,ia tak pernah mencaci cinta pertamanya. Hingga pada suatu musim di peradaban,lelaki beserta perempuan itu datang ke rumahnya. Membawa sekuntum bunga segar,beserta sekotak coklat. Tentu dibukakan pintu,ia kira hanya tamu biasa,rasa terkejut merayap. Beberapa patah kalimat diucap lelaki itu,"Hai,sudah lama tidak bertemu,kenalkan,sepupuku. Selama ini,aku hanya mencoba untuk mengujimu,seberapa setia kah kau?. Seberapa besar cintamu?". Berbincang lama dalam menjelaskan hal diatas ketidak mungkinan ini,ternyata kata hati selalu benar,jalan nalar logika tak sehebat prediksi kata hati. Cinta pertama memang indah,meskipun penuh drama serta kejadian diluar akal sehat. Urusan hati yang tersakiti,pikir ulang,semua hal memiliki masing-masing resiko. Mungkin sejak awal,ia tak pernah berpikir,bahwa cinta pertamanya adalah cinta terakhirnya pula.

Jumat, 11 Maret 2016

Payah

Terkadang,rasa ikhlasku berhasil mengalahkan rasa di hatiku. Tetapi, rasa ikhlasku telah  berkali kali dihancurkan rasa sayang di hatiku. Namun,ia tak pernah letih walau dihancurkan,selalu membangun kembali kepingan samarnya. Sama seperti rasa yang timbul dalam hati ini,ia tak pernah lelah dihancurkan oleh dirimu,atas jiwa yang tak berkenan akan datangnya rasa ini.
Memang,rasa sakit tak jarang menimpa,namun mengapa hati ini terlalu meringkus atas perasaan itu. Sakit tak dirasa,aku pun tak begitu paham mengapa diri ini terlalu sudi untuk menunggu insan yang bukan menjadi hak dan menghuni hatinya.

Kamis, 10 Maret 2016

Terkaan Purba

Terkubur antara ceruk-ceruk Bengawan Solo.
Teralir pada tepas kota Ngawi.
Ku temui jejak awal hidup.
Tempat berhimpunnya rangka membatu.
Terbingkai dalam meja display musium Trinil
Berjajar penuh misteri.
Terlampau beberapa lama,
Seluk beluk ini disembunyikan.
Diam bersama beribu sejarah.
Terkapar harmonis diatas bongkahan.
Bersemayam kaku,
Menolak ragu.
Melukiskn geram masa lampau.
Globalisasi berseru,
Nafsu peralihan mengubah zaman.
Membius keadaan,menjadi keantabrantaan.
Telapak ini bergelayut karam,
Menyentuh batas benda kusam.
Berahu katup mata membelalak,
Terpetakan penjuru lampau.
Mencekik kerling bulu kuduk.
Daya pikir mengembara,
Lubuk imajinsi tak dapat dikembala.
Berkujur ricuh segala asumsi.
Dapat kuperkirakan ketertatihan yang merana.
Menjelajah padang hening,
Berdesah akan jalannya waktu.
Jika diizinkan,
Mesin waktu yang kupakai.
Kata revolusi dapat diungkap,
Arungan tegas khalayak purba.
Segegas apa terjalin lama.
Semu tak terprediksi.
Layak tanda tanya tak berterus terang.

Rabu, 09 Maret 2016

Timbunan asa

Ketika ulu hati tersiksa,terbata-bata dan tak sanggup kembali membangun lempengan hati. Dikala khalayak rasanya tak ada yang peduli. Kau datang,dengan langkah tegapmu,kau datang membawa tamengmu. Kupikir,kau benar-benar ksatria yang dikirim Tuhan. Apadaya,ku terus terpedaya pada rayu manismu. Hingga pada suatu masa,kau berlari sekejap angin. Kukejar,namun jejakmu tak terkejar. Lisanku sirna,kau benar-benar pergi. Menjerat jua tersedu meraga. Kau lenyap meninggalkan sakit,kau pergi meninggalkan luka.

Harap

Disetiap musim yang semakin berlalu,dibalik belukar seakan pemalu. Aku berdiam,ditikam wacana. Manakala harap hanya sejengkal,sedangkan rasa kian mencuat. Melucuti kisah kian berkabung. Bertutur pada satu pandang,pandangmu. Aku tak sanggup.